Pages

Sunday 15 July 2012

Di pagi hari saat Zarina sedang asyik tidur terlelap ia mendengarkan Hpnya berdering ia segera mengangkat telepon tanpa nama di memori kartunya.

"Assalaamu'alaikum?"
"Wa'alaikumussalam. Ini Zarina?"
"iya saya sendiri"
"kamu jangan ngajak-ngajak anak saya Vinda main dan keluyuran malam-malam yah! lalu membawa anak lelaki-laki!
"astaghfirullah" lirihnya sambil memikirkan jawaban yang tepat seperti mendengar kilatan petir.

"kamu kalau mau pergi jangan bawa-bawa Vinda lagi!"
"Bu, siapa yang mengajak Vinda main? Vinda yang mengajak saya dan dia datang kesini membawa motornya sendiri. saya sendiri tidak bisa naik motor. Dan untuk apa saya mengajak Vinda keluar jalan-jalan dan membawa anak laki-laki. Saya sendiri tak pernah berbuat itu sebelumnya"
"Tapi Vinda itu kan anak pesantren dia tidak mungkin dan tidak pernah berbuat seperti itu kalau tidak ada yang mengajarkan!"
"ibu kenapa menuduh saya? tanyakan saja pada Vinda. Saya tidak pernah mengajak malah sebaliknya! Teman saya banyak bukan hanya dia!"

Tut...tut....tut.

Sambungan terputus Zarina meradang rasanya ia kebakaran jenggot antara sabar dan emosi yang tak bisa diatur oleh nafasnya sendiri. Kemudian Zarina melemparkan bantal ke lantai sambil memikirkan sesuatu.
Ia segera bercerita kepada sahabatnya yang malam itu juga keluar bersama-sama dan pulang pukul 9 malam.
Dina gadis kecil ini juga merasa keberatan ketika Zarina menceritakan tuduhan itu, Dina juga ikut marah dan tidak terima temannya di tuduh.

Lalu pagi harinya vinda mengirimkan pesan singkat
"Maafin aku yah teman-teman"

"tanpa merasa bersalah ia begitu saja meminta maaf dengan seenaknya" gerutu Zarina.

Kepercayaan Zarina memudar seketika, Zarina yakin betul jika ia akan menutup memori kelam yang membuat masa-masa remajanya itu membuatnya tertekan.
Ia bukan sudah berusaha menyimpulkan tentang perbuatan yang seharusnya ia katakan kepada sang ibu.
Sang ibu tak pernah tahu apa yang dilakukan sang anak dibelakangmu.
Dia memang baik, tapi dia sudah mengenal laki-laki bahkan sering bertemu.
usia yang belum genap 16 tahun itu membuat Zarina kian berhati-hati.

Diary Zarina,
Wahai ibu, bukan cerita di atas saja yang pernah ku dengar.
Wahai ibu, aku tahu aku ini anak yang masih lugu yang tak tahu menahu
Tapi apa kau percaya jika anakmu berkata dusta padaku?
Ibu, jika itu terjadi padaku, aku pasti tak tenang seumur hidup
Jika ibuku mengalami hal sebalikya.
Ibuku pasti akan memukuliku hingga memerah dan biru lebam disekujur tubuhku jika keadaannya aku malah menuduh orang lain
Tapi tidak denganmu ibu temanku,
Layangkanlah tuduhan itu terhadap putrimu dahulu sebelum engkau menuduhku,


Suara Zarina mungkin beberapa masalah kecil. Saya sendiri sering mendengar berita seperti ini. Terkadang ada anak orang kaya yang terlalu sombong membawa anak tetangganya bermain. Tapi anak orang kaya tersebut malah menuduh anak tetangganya yang miskin itu yang mengajak ke arah buruk.
Situasi pun genting, si anak miskin ini gusar dan hanya bisa berkaca-kaca dengan menahan air mata. Ia tak berani membela diri karena dirinya merasa menyesal bahkan merasakan sama-sama salah.
Tapi kenapa ibu seperti itu mengajari rasa ketidakadilan?

Mereka itu anak-anak kecil, anak-anak yang masih dibawah umur. Tidak seharusnya menghakimi bahkan memarahinya dengan sembarangan. Naluri sebagai ibu memang melindungi putra putrinya tapi bukan cara seperti ini mengajarkan kebaikan demi putrinya.
Nasehatilah dia, putra putrimu dulu sebelum berpikir untuk menasehati orang lain.
Jika kau menjadi ibu, Anakku menuduh orang lain apa yang harusnya kulakukan?
Menghakimi dan langsung menanyakan kepada anak orang lain sebagai tertuduhkah?
Apakah anak anda berkata jujur?
Saya yakin anak saya jujur. dia anak yang baik.
Tapi bukankah kita sebagai orang tua yang baik mampu menjadi contoh yang baik. Menasehati bukan menghakimi atau menuduh juga sepakat dengan sang putra putri?

"Berbuat baiklah pada orangtua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbuat baik pada kalian." (HR.Thabrani)

“Wahai orang yang beriman, jika orang fasik membawa berita kepadamu maka periksalah.” (QS. al-Hujurat: 6

Allah berfirman, artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan prasangka, (karena) sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.”(QS. al-Hujurat:12)

Berterimakasihlah pada orang-orang yang telah melukai dan menyakitimu, karena mereka telah memberikan pelajaran yang paling berharga dalam hidupmu.
Bukan malah tidak terima lalu menghakimi dan membenci, bencilah sewajarnya jika ia memang patut dibenci. Tapi bencilah sifatnya bukan orangnya. Memang sulit jika diaplikasikan.
Tapi berusaha lebih baik itu dari hari kemarin adalah kemenangan luar biasa, bukanlah pengulangan yang tidak baik.

Yuk ajarkan kebaikan. Bukan keburukan.

Kita tidak tahu seberapa tinggi langit di atas sana, tetapi sudah  selayaknyalah kita tahu seberapa TINGGI kita mampu menghargai orang yang kita cinta (Mutiara hati)




(catatan Annur)