Pages

Tuesday 30 November 2010


"Husband saya Cina ... kahwin laa campur nanti anak comel-comel, bijak-bijak tau.", Ujar guru kelas saya yang berbangsa Siam sewaktu di tingkatan 3.Dalam perjalanan ke rumah, saya ceritakan pada abah. Balas abah, "try not to study and let us see how's your result then". Ok, setuju.

Berbagai reaksi kita dapat lihat hari ini tentang kawin campur (muslim & non-muslim).

Ada yang mendukung dan tak kurang juga yang menentang. Saya sendiri belum menikah dan pendapat saya pasti ada yang timpang. Penulisan saya lebih ke pandangan seorang anak remaja berdasarkan pengalaman yang sedikit tentang, "ada apa dengan mixed marriage".
 



Bukan mudah menikah campur



Kutipan koran sering menampilkan pasangan yang menikah campur akhirnya bercerai setelah tinggal sebumbung. Rata-rata beralasankan, "tidak kompatibilitas dan sefahaman". Sungguh, waktu bercinta banyak yang buta. Yang indah-indah saja terlihat. Hidung mancung, dahi licin, mata biru. Kurang nampak aspek perbedaan paham dan budaya yang nyata antara mereka. Bila sudah menikah, si istri marahkan suami yang makan pete. Busuk, kata dia. Sang pria sudah sampai ke tingkat mengidam, contoh dan akhirnya ribut karena hal seremeh ini.


Ada juga yang memeluk agama Islam semata-mata karena ingin menikah. Setelah itu, shalat dan puasa entah ke mana. Keberkatan rumahtangga menjadi taruhan. Si istri tidak menghormati suami yang muallaf sebagai kepala keluarga dan si suami tadi ego untuk berguru dengan istri demi mengenal Allah dan Rasul. Si suami yang mukallaf pula tak bersedia mendidik istri untuk memenuhi peraturan Islam dan istri pula gagal mencorak anak seiring dengan kehendak agama. Pola seperti ini yang berkelanjutan, langsung membawa keretakan sebuah institusi pernikahan yang dituntut Islam.


Setelah mendirikan rumah tangga, harus di pikirkan pula bagaimana hubungan dengan pihak keluarga yang bukan Islam. Pergaulan macam mana? Aurat macam mana? Bagaimana dengan sambutan perayaan, yang mana dapat yang mana tidak? Bagaimana mendidik anak untuk menghormati keluarga kedua belah pihak, dalam waktu yang sama mempertahankan jati diri seorang muslim? Takut-takut pernikahan yang bertujuan dakwah dan menghubungkan silaturrahim terputus dek kebodohan sendiri. Yang Islam halalkan kita haramkan karena kurang pemahaman dan kesediaan.Dan-naudzubillahimindzalik-andai kata si istri maupun anak-anak menarik si ayah ke neraka karena didikan agama yang kurang sempurna. Jadi, bukanlah mudah menikah campur.


Tak bisa ke kahwin campur?


Nabi Muhammad saw: "Janganlah kamu nikahi orang-orang yang masih berkerabat karena anak diciptakan laksana cahaya. Carilah wanita-wanita yang jauh dan janganlah kamu memilih yang dekat hubungannya."(Riwayat Ahmad, Malik & Al-Nasai)


Islam sendiri menganjurkan kahwin jauh, dan perkawinan campur mampu membawa lebih banyak insan kembali mentauhidkan Allah SWT selain mengurangi risiko penyakit keturunan dan mendapat anak-anak yang comel sebagai bonus. Sejarah menunjukkan Nabi SAW sendiri menikah dengan Shafiyah binti Huyai, seorang yang baru memeluk Islam dan Yahudi."Kami tidak kompatibel" "Budaya kami tidak sama" adalah antara alasan yang biasa didengar akibat perceraian. Setelah itu mulai terdengar bisikan, "Orang Melayu banyak, mat saleh / Cina / India tu jugak yang die nak. Kan dah bercerai .."


Salah siapa sebenarnya?


Jangan menunding salah pada perbedaan bangsa semata. Kalau asbab pernikahan campur penyebabnya, harga perceraian sesama bangsa Melayu pun dapat terus banyak juga. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Keharmonisan dalam perkawinan campur mungkin nampak sulit tetapi tidak mustahil. Orang-orang hebat di sekeliling saya telah membuktikan.Sahabat ibu saya menikah dengan wanita asal Cina. Atas didikan si suami, istrinya kini muslimah bertudung labuh dan berjubah, malah ada antara anak-anaknya yang menghafal Al-quran. MasyaAllah, hebat sungguh benih yang tumbuh dari wanita yang sebelumnya kafir.


Guru sejarah saya juga bersuamikan seorang yang berbangsa Jerman. Lucu sangat puteri-puteri mereka dan dari perkongsiannya, keluarganya-alhamdulillah-bahagia.Asimilasi budaya yang positif menghilangkan konsep "janji melayu" dalam hidup mereka karena suaminya sangat mementingkan waktu.


Formula saya, mudah. Hendak seribu daya, mahu seribu cara. Tak salah meredah arus menikah campur tetapi sertakan sekali kesediaan menghadapi persepsi masyarakat yang berbagai juga tantangan hidup yang mendatang. Peran ini semestinya dimainkan oleh kedua belah pihak. Tersedia bertolak ansur bahwa institusi keluarga ini terbina antara dua insan yang berbeda budaya. Hormati selera dan cara hidupnya asal tak bertentangan dengan Islam. Cukupkan diri dengan ilmu agama agar rahmat dan ridho Allah melimpah karena perkawinan campur ini membawa si suami juga istri ke dunia yang berbeda dari kehidupan dua bangsa, dua paham sebelumnya.


Saya melihat anak hasil perkawinan campur memiliki bonus dari segi sosial karena sejak kecil telah terkena dengan hubungan kekeluargaan berbagai kaum. Anak-anak lebih terbuka pikirannya untuk menghormati paham lain, dalam pada waktu yang sama mempertahankan jati diri seorang muslim. Cuma syaratnya, orang tua harus berperan memberikan anak dengan didikan seharusnya. Andai silap didikan, saya khawatir si anak mungkin mengalami krisis identitas. Nak kata melayu, pakaian mirip mat saleh. Nak kata kafir, kadang-kadang nampak juga dia shalat.


"Nanti kak cik nak kerja di overseas, lah. Bisa kawin dengan mat saleh", saya berseloroh dengan umi.
"Bukan mudah kawin campur, kak cik. Banyak bercerai-berai zaman sekarang ni.", Balas umi.
"Tapi .. umi dengan abah?"
"Umi dengan abah, lain ... bukan cari sendiri ...", kami tertawa.

Colours of life, kalau ada pihak yang menentang dan ada yang mendukung pernikahan campur, saya memilih untuk suam-suam kuku. Kahwin campur? Koreksi diri, inspek hati. 

Segalanya, terserah pada Anda






~Iluvislam.com~

0 Comments:

Post a Comment